“Moratorium lunak (soft moratorium) sebenarnya sudah dimulai sebelumnya, keputusan ini diambil setelah evaluasi berkala selama tiga bulan," lanjut Julian.
Pemerintah memutuskan untuk melakukan penghentian pengiriman PRT (pembantu rumah tangga) ke Arab Saudi karena pertimbangan banyaknya kasus yang terjadi. "Ini bukan politis, tapi karena pertimbangan kasus-kasus hukum yang dialami TKI di Arab Saudi," jelas Julian.
Namun sayang bahwa media Saudi tak memahaminya. Sejumlah media di Arab Saudi menanggapi moratorium ini secara emosional. Kepala Komite Perekrutan Nasional Arab Saudi, Saad Al-Baddah mendesak pemerintah Arab Saudi untuk melarang perekrutan warga negara Indonesia sebagai tenaga kerja.
Saudi Gazette pun kemudian menulis bahwa moratorium penghentian TKI dilatarbelakangi motif politis dan sebagai langkah skeptis dari keseriusan pemerintah Indonesia menangani masalah TKI. Yang harus dicatat media Saudi bahwa angka penindasan para majikan Arab terhadap PRT di Saudi tetap tinggi. Selain itu masih banyak PRT dianiaya di Saudi.
Adapun yang perlu dicatat bahwa pembantu rumah tangga (PRT) di Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan negara Arab lainnya bersama Bangladesh dan Ethiopia, dalam posisi dihinakan. Karena itu, pemerintah India sudah sejak enam tahun lalu melarang warganya menjadi PRT.
Prof Sulistyowati Irianto , Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa jutaan rumah tangga Arab mempekerjakan TKI untuk menggantikan peran tradisional para perempuannya.
Di sini ada situasi bikulturalisme, yakni bangsa Arab memasuki abad modern, tetapi tak ingin kehilangan identitas kulturalnya. Mereka tetap mengaktifkan struktur sosiokultural yang membedakan orang berdasarkan ras, etnik, kelas, dan jender. PRT berada dalam struktur yang paling rendah.
Umumnya keinginan bermigrasi orang Indonesia sebagai PRT bukan dari diri sendiri, melainkan rasa tanggung jawab untuk menyelamatkan keluarga dari kemiskinan. Tujuan bermigrasi ke Arab diwujudkan oleh agensi tenaga kerja yang kebanyakan keturunan Arab.
Bahkan Prof Sulistyowati mencatat bahwa di Condet, Jakarta Timur, ada semacam ‘One Stop Trading Center’ bisnis migrasi ke negara Arab, lengkap dengan pusat kesehatan, balai latihan kerja, biro perjalanan, dan pengiriman. Mereka bekerja sama dengan ratusan agensi tenaga kerja di Uni Emirat Arab (UEA). Semua menjadikan perempuan sebagai komoditas.
Masalahnya, adalah tidak ada hukum yang mengatur soal PRT, baik di Indonesia maupun Saudi ataupun UEA. Mengapa? Karena secara sosial pekerjaan ini dianggap rendah, kotor dan tidak layak disetarakan dengan pekerjaan formal di pasar kerja. Satu-satunya acuan hukum hanyalah UU Keimigrasian. Hal itu membuat PRT dalam posisi lemah serta mudah jadi korban kekerasan.
Karena itu, pemerintah harus memperkuat langkah perlindungan nyata bagi para PRT, agar bisa dilindungi secara memadai. Sehingga kasus hukuman pancung bagi Ruyati menjadi yang terakhir kali. Sudah tentu penghentian PRT ke luar negeri adalah langkah terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar