SISWA XI IPA 2 DINYATAKAN NAIK KELAS 100% * NILAI TERTINGGI XI IPA 2 YAITU JUSTANG DENGAN RATA-RATA 8,04 * PERINGKAT 1 : JUSTANG, PERINGKAT 2 : ISWANDI, PERINGKAT 3 : JUNAID AHMAD * LIBUR TANGGAL 28 JUNI S/D 10 JULI * SEKOLAH KEMBALI DIBUKA PADA TANGGAL 11 JULI 2011 Exact 2 Man 1 Watampone: Peranan Tasawuf Dalam Kehidupan Modern

Sabtu, 26 Februari 2011

Peranan Tasawuf Dalam Kehidupan Modern

Telah sering dikemukakan bahwa sufi merupakan golongan penuntut ilmu hakekat. Mereka adalah para penjelajah spiritual yang tidak puas hanya mengenal yang fenomenal dalam hidup ini. Mereka mengembara dengan ilmunya untuk menemukan hakekat diri di mana kebenaran bersemayam. Bagi mereka pengalaman mistikal yang bersifat spiritual itu memang bersifat pribadi. Tetapi tak berarti pengalaman seperti itu tidak bisa dialami pula oleh orang lain yang menempuh jalan kerohanian (suluk) yang sama. Oleh karena itu kendati sifatnya pribadi, pengalaman kesufian dapat dibagi dan disampaikan kepada orang lain dengan cara tertentu.
Sebelum menempuh perjalanan rohani yang panjang mereka juga mempersiapkan diri dengan bekal yang tidak sedikit, berupa pengetahuan, kearifan-kearifan, wawasan dan falsafah hidup, serta keyakinan bahwa perjalanannya memiliki tujuan yang jelas.
Mereka yakin pula bahwa tujuan utama ilmu hakekat ialah realisasi diri dalam Tuhan. Ini tak berarti bahwa mereka ingin memupuk individualisme dan egosentrisme, karena pengertian ‘diri’ (self, khudi) dalam tasawuf secara konseptual merujuk kepada firman Tuhan yang menyebutkan bahwa manusia diturunkan ke dunia sebagai khalifah Tuhan dan hamba-Nya. Untuk menjadi khalifah yang baik, seseorang harus mengetahui perintah dan kehendak-Nya melalui kitab suci. Untuk bisa menjadi hamba-Nya seseorang harus pula berusaha menaati perintah-Nya.

Pengertian khalifah Tuhan dan hamba-Nya itu diringkas oleh sufi dalam kata-kata faqr, diri yang tidak merasa memiliki apa pun di dunia selain petunjuk-Nya dan juga diri yang hanya memerlukan Tuhan bukan selain Tuhan. Inilah realisasi diri yang dimaksud dalam tasawuf. Seorang faqr telah fana’ (hapus) dalam arti bahwa dia telah mampu mengendalikan jiwa badani (hawa nafsu) nya. Dengan tunduknya jiwa badani kepada jiwa rohani (diri hakiki) dalam anthusiasme ketuhanan, berarti seseorang mencapai gerbang kebakaan (baqa’) yaitu merasakan dirinya hidup kekal dalam kasih sayang Ilahi.
Secara spiritual, arti perkataan fana ialah luluhnya jiwa badani di bawah kendali jiwa rohani, yang dengan itu pintu menuju alam malakut dan ketuhanan terbuka lebar. Tanda seorang faqr ialah keterbebasan hati mereka dari belenggu materialisme dan hedonisme material, dan kesediannya mengurbankan nyawa dan harta demi tercapainya cita-cita kehidupan yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain kepentingan diri atau egonya telah telah terkalahkan oleh kepentingan yang lebih besar dan mulia, seperti kepentingan kemanusiaan, sosial, agama dan kebudayaan.
Salah satu yang banyak dicatat oleh para sejarawan yang menyaksikan dan meneliti kiprah mereka dalam kehidupan keagamaan ialah cara-cara mereka yang berbeda dari ahi fiqih dan pendakwah umumnya ialah dalam hal metode penyebaran agama. Dalam menyebarkan agama, mereka lebih mengutamakan pendekatan kultural. Mula-mula mereka pelajari bahasa, adat istiadat, seni dan sastra dari masyarakat setempat. Kemudian mereka olah kembali budaya-budaya lokal itu setelah diresapi nilai-nilai dan pandangan hidup Islam. Kemudian mereka transformasikan menjadi bentuk-bentuk dan ungkapan baru yang memperlihatkan kesinambungan budaya sebelumnya. Melalui sarana seni seperti musik, sastra dan arsitektur misalnya, ajaran Islam tentang Tuhan, nilai-nilai moral dan estetika, serta konsep Islam tentang kebudayaan, adab, ilmu dan lain-lain disebarkan ke tengah masyarakat luas. Apabila kesadaran batin masyarakat telah siap menerima ajaran Islam, maka pengajaran syariat dan fiqih diberikan secara intensif sebagai bentuk pembebasan dari bentuk-bentuk pemujaan agama yang lama.
Dengan perkataan lain dalam menyebarkan agama, mereka bergerak dari yang spiritual menuju yang formal dan lahiriyah. Dalam kasus ini sangat menarik apa yang dilakukan Sunan Bonang seperti dituturkan dalam Suluk Wujil.
Pada suatu hari datanglah hari datanglah ke Pesantren Bonang seorang pangeran cebol dari Majapahit bernama Wujil. Bekas orang istana ini sangat haus akan kebenaran. Ia tidak puas dengan segala bentuk ajaran formal ajaran agama seperti Hindu, Buddha dan alirannya. Dia telah mengembara ke mana-mana untuk menemui para pendeta, ulama dan bhiksu. Tetapi dia tidak pernah dapat menemukan apa yang dicarinya.
Di Bonang Wujil diterima oleh Sang Wali dan dikatakannya bahwa hakekat ajaran agama Hindu yang asli sebenarnya sama dengan Islam, dan tujuan kedua agama ini sama. Tetapi di dalam agama Hindu orang perlu bertapa di gunung dan menyiksa badan untuk memperoleh kelepasan dan kesempurnaan. Sedangkan di dalam agama Islam keselamatan jiwa dapat dilakukan di tempat ramai tanpa perlu menyiksa badan. Salat lima kali sehari tidak kurang manjurnya dalam memberikan pembersihan pada jiwa. Wujil kemudian diberi pelajaran syari’at, asas-asas aqidah Islam, fiqih dan tasawuf.
Tasawuf menekankan pentingnya penyaksian kalbu dalam mencapai kebenaran. Penyaksian kalbu itulah yang disebut pengetahuan langsung. Menurut mereka pengenalan kebenaran secara formal, yang diperoleh dengan jalan mendengar atau membaca dari buku tidaklah memadai. Pengetahuan formal tidak dapat mengantarkan seseorang pada hakekat kebenaran apabila terpaku pada bentuk-bentuk formal. Syariat tidak bermakna apa-apa tanpa dihayati dengan pemahaman terhadap hakekat dan makrifat. Dorongan untuk menyampaikan keyakinannya tentang pentingnya pengetahuan langsung ini mendorong para Sufi banyak melahirkan puisi dan kisah-kisah perumpamaan yang menarik. Sebab hanya melalui bahasa simbolik dan figuratif sastra pandangan, gagasan dan pengalaman mereka dapat diungkapkan lebih hidup dibanding diuraikan dalam bentuk risalah ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komentar Facebook